Sabtu, 31 Januari 2009

Test

Testing..testing

Jumat, 10 Oktober 2008

Mudik dan Gengsi

Semoga topik ini masih belum basi untuk dibicarakan.

Menjelang lebaran yang baru berlalu, seperti biasa pada saat jam makan siang aku dan beberapa teman kantor makan siang bersama. Berhubung saat itu sudah begitu mendekati masa liburan lebaran, kami saling bertanya siapa yang akan mudik di musim mudik kali ini.

Aku sendiri tidak ikut dalam keramaian mudik tahun ini. Namun begitu ramainya jalur mudik setiap kali menjelang lebaran membuat aku tergelitik ingin tahu lebih jauh latar belakang mudik bagi orang-orang dari daerah Jawa khususnya, selain sebagai cara untuk berkumpul bersama keluarga merayakan Idul Fitri bersama.

Salah satu teman yang berasal dari salah satu daerah di Jawa mengatakan bahwa, pada saat mudik setiap orang tua berkesempatan untuk membanggakan anak-anaknya yang pulang dari Jakarta. Anak-anak mereka akan pulang dengan membawa kendaraan (sekalipun hanya motor), handphone dan oleh-oleh dari Jakarta yang dianggap bergengsi di daerah.

Menyimak penjelasan dari temanku aku bahkan jadi terganggu. Menyedihkan untuk diketahui bahwa mudik selain untuk merayakan Idul Fitri bersama, digunakan sebagai alat untuk pamer dan meningkatkan gengsi. Resiko yang dipertaruhkan oleh sebahagian orang untuk sekedar pamer terlalu tinggi menurutku. Selama musim mudik setiap hari di televisi dan di jalanan aku melihat bagaimana sebahagian orang mudik dengan menggunakan sepeda motor dengan membawa anak dan istri dan begitu banyak barang-barang. Padahal, sepeda motor jenis bebek tidak dirancang untuk perjalanan jauh, apalagi dengan beban berat.

Mengapa gengsi begitu penting bagi sebahagian (bahkan mungkin sebahagian besar) masyarakat Indonesia? Aku berpikir, mungkin yang menjadi akar penyebabnya adalah nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga sejak kecil. Dan mungkin nilai yang berhubungan dengan ini adalah ’harga diri’. Sayangnya, seringkali pemahaman mengenai harga diri dikaitkan dengan kemampuan yang bersifat materialis. Benar apa tidak, mungkin perlu dilakukan riset untuk menjawabnya.

Bagaimanapun, aku tetap prihatin setiap kali melihat pada musim mudik banyak terjadi kecelakaan karena padatnya jalur mudik. Kecelakaan tersebut lebih sering mengorbankan nyawa pengguna sepeda motor. Sebaiknya masyarakat Indonesia lebih menghargai nyawa manusia daripada gengsi. Belajarlah untuk memikirkan resiko dari setiap tindakan yang akan dilakukan, dan pikirkanlah dengan akal sehat. Ingatlah ketika seseorang mati konyol gengsi tidak ada artinya lagi, bahkan orang lain akan mengecam kebodohan yang menyebabkan kematiannya.

Sabtu, 27 September 2008

Miskin, Alasan untuk Tidak Etis?

Selama dua tahun ini kalau kita mengikuti berita di televisi, banyak sekali hal-hal tidak etis yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya dalam mencari uang. Beberapa di antaranya adalah penjualan daging gelondong, penjualan daging yang sudah busuk, penjualan daging sampah, pemotongan sapi dengan cara dipotong sebahagian-sebahagian tanpa membunuhnya, dan penggorengan makanan gorengan dengan mencampur plastik.

Tidak habis dipikir mengapa bangsa Indonesia yang sangat agamawi melakukan hal-hal seperti ini. Seharusnya dari suatu bangsa yang sangat beragama, dan yang dasar pertama dari negaranya adalah "KeTuhanan yang maha esa", dapat diharapkan pelanggaran etika yang minimal. Namun, sangat menyedihkan bahwa ketika beberapa oknum diwawancarai menyatakan secara implisit bahwa tindakan-tindakan seperti itu dilakukan karena tidak ada uang, atau miskin. Apakah miskin boleh menjadi alasan untuk tidak menjaga etika? Apabila demikian, apa artinya "KeTuhanan yang maha esa" dan sila-sila lain dalam Pancasila bagi bangsa ini?

Aku tidak percaya bahwa kemiskinan boleh menjadi tiket untuk berbuat jahat dan tidak etis. Aku percaya bahwa ketika seseorang menanamkan integritas yang tinggi di dalam dirinya, dan menjunjung tinggi integritas dalam segala hal, maka upah yang baik akan tiba pada waktunya. Kemiskinan tidak harus menjadikan seseorang jahat. Kemiskinan bahkan seharusnya menjadikan seseorang kuat dalam menghadapi tantangan hidup.

Aku berharap...ya...tetap berharap, bangsaku menjadi bangsa yang hidup dengan integritas tinggi.